This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.

This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.

This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.

Selasa, 31 Juli 2012
WAKTU MUTLAK DAN PENANGGALAN RELATIF
Tanggal berapakah sekarang? Orang Indonesia menyebutnya tanggal 29 juli 2012. Orang Cina menamakannya, 11 Bing Shen 4710. Dan orang Arab mengatakan, 10 Ramadan 1433 H. Padahal harinya sama. Tetapi, kenapa kok tanggalnya berbeda? Itulah realitas. Waktu alam semesta bersifat mutlak, tetapi waktu manusia berbeda-beda, bersifat relatif.
BERIJTIHAD MENCARI SOLUSI PERBEDAAN
TAFAKUR RAMADAN TEMA : "BERIJTIHAD MENCARI SOLUSI PERBEDAAN"
Betapa nikmatnya bertafakur di bulan Ramadan. Apalagi bersama sejumlah pemikir Islam, yang tulisan-tulisannya tertuang di kolom Tafakur Jawa Pos ini. Kita memperoleh banyak hikmah dan pencerahan, serta arah yang jelas dalam menjalankan agama dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa ada beberapa perbedaan diantara buah pikiran tersebut, itu menjadi keniscayaan. Tetapi, justru disitulah Allah menaburkan hikmah dan rahmat-Nya.
Saya terkesan dengan tulisan Pak Said Aqil Siroj, ketua umum PBNU, kemarin, tentang perlunya umat Islam kembali kepada substansi ibadah puasa. Bahwa bulan suci ini harus dimaknai sebagai bulan perjuangan (syahrul jihad), bulan bertafakur (syahrul ijtihad), dan bulan berspiritual (syahrul mujahadah). Ini sungguh cocok dengan kolom Tafakur yang digagas Jawa Pos.
Maka sejak pertama tulisan saya dimuat di kolom ini, saya sudah berniat untuk mengajak pembaca Jawa Pos melakukan tafakur dan ijtihad dalam mencari solusi atas ‘masalah tahunan’ umat Islam dalam menyongsong Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. Meskipun, sebagian kita berpendapat bahwa masalah ini adalah ‘masalah kecil’ yang tidak perlu dibesar-besarkan. Tapi, saya justru melihatnya sebagai masalah yang memprihatinkan, sebagaimana disuarakan oleh jutaan umat Islam Indonesia secara diam-diam.
Saya khawatir, anggapan bahwa ini adalah hal kecil yang remeh temeh itu dikarenakan kita sudah ‘terbiasa’ menghadapinya selama bertahun-tahun. Sehingga hal yang menurut saya sangat serius ini kita anggap sebagai masalah kecil. Salah satu pengalaman yang membuat saya prihatin dan bahkan merasa malu, adalah ketika saya bermukim di Mesir ditertawai oleh sejumlah kalangan umat Islam disana.
Mereka merasa ‘aneh bin ajaib’ dengan adanya perbedaan awal waktu ibadah di Indonesia. Baik Ramadan, Syawal, maupun Dzulhijjah, sebagaimana telah saya bahas dalam tulisan-tulisan terdahulu. Menurut mereka, mestinya hal itu tidak perlu terjadi. Rasa keumatan dan kebangsaan saya tersinggung, karena mereka menyebut-nyebut umat Islam Indonesia tidak mampu menyelesaikan ‘masalah kecil’ itu. Apalagi yang lebih besar.
Maka, dalam rangka menjembatani perbedaan ini, saya mengajukan usul yang oleh kawan saya dianggap agak aneh, yakni: memisahkan antara astronomi dan fikih dalam menentukan awal ibadah. Saya meyakini, hal tersebut bisa menjadi jembatan yang sangat berarti untuk mencari titik temu dari persoalan ini. Bahwa penetapan ‘awal bulan’ Ramadan dan ‘awal puasa’ Ramadan itu seharusnya dipisahkan. Hal ini sebenarnya sudah diindikasikan oleh pihak-pihak yang berbeda pendapat.
Di tulisan pak Said Aqil Siroj kemarin misalnya, dikutipkan rujukan kenapa kalangan NU mengambil sikap harus melakukan rukyatul hilal. Yakni, karena ada perintah sebagai berikut: ‘’Berpuasalah kamu berdasar melihat hilal (bulan), dan berlebaranlah kamu berdasar melihat bulan. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah.’’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Tentu kita sangat menghargai rujukan yang bersifat perintah ini. Sebagaimana kita juga menghargai pendapat yang berbeda, yang merujuk kepada perintah ayat Qur’an: ‘’…barangsiapa menyaksikan datangnya bulan (Ramadan), hendaklah dia berpuasa di dalamnya.’’ [QS. Al Baqarah: 185].
Jadi, kedua belah pihak yang berbeda sebenarnya sama-sama berdasar pada perintah. Yang satu berdasar pada perintah hadits, yang lainnya berdasar pada perintah Al Qur’an. Yang satu berpatokan pada hilal alias bulan sabit yang terlihat mata, sedangkan yang lainnya berpatokan pada syahr alias bulan Ramadan yang ditandai oleh fase sesudah ijtima’. Tentu keduanya benar, sebagaimana dikatakan oleh pak Said Aqil Siroj, di tulisan tersebut. Karena itu, sebaiknya kita tidak usah mermpersoalkan fikih ibadah puasa ini lebih jauh.
Yang saya usulkan disini bukan sisi fikihnya, melainkan sisi Ilmu Falak alias Astronominya. Karena, secara astronomis, acuannya sangat jelas dan bisa dicek langsung di lapangan oleh seluruh penduduk Bumi. Sehingga mestinya tidak terjadi perbedaan. Baik yang muslim maupun yang bukan. Bahwa, Bulan itu memiliki fase-fase yang berbeda, diantaranya ada ‘bulan tua’ dan ‘bulan muda’. Pakar Ilmu Falak dari pihak-pihak yang berbeda pendapat sudah sama-sama mumpuni dalam hal ini, dan terbukti bisa memperoleh kesimpulan yang sama dalam menghitung ijtimak akhir Syakban: Kamis, 19 Juli 2012, sekitar pk.11.25 wib.
Maka, sebenarnya semua sudah tahu, bahwa setelah ijtimak alias konjungsi pastilah datang fase ‘bulan baru’, yakni bulan Ramadan. Penandanya, diantaranya adalah pada lengkungan bulan sabitnya. Pada ‘bulan tua’, lengkungan sabitnya ke arah kanan. Sedangkan pada ‘bulan baru’, lengkungan sabitnya ke arah kiri. Saya yakin, seyakin-yakinnya, tidak ada perbedaan dalam hal ini bagi siapa saja yang mengerti Ilmu Falak.
Perbedaan itu memang bukan pada: sudah masuk atau belum masuknya bulan baru Ramadan, melainkan pada: kapan harus memulai puasa. Bagi yang mendasarkan awal puasanya dengan melihat hilal secara kasat mata, adalah benar untuk memulai puasanya di hari Sabtu, karena rujukan perintahnya memang begitu. Sebaliknya, bagi yang berpegang pada perintah agar berpuasa ketika syahr Ramadan sudah masuk, juga benar untuk memulai puasanya di hari Jumat, karena rujukannya juga demikian. Ini adalah perbedaan fikih alias khilafiyah yang tak perlu diperlebar lagi.
Sehingga, demi jalan tengah itu, saya lantas mengusulkan, mestinya redaksi penetapan ‘awal puasa’ Ramadan itu berbunyi begini: ‘’Semua pihak yang berkompeten sepakat bahwa bulan Syakban sudah berakhir hari Kamis, 19 Juli 2012, pk. 11.25 wib. Karena itu, Kamis sore ini bulan Ramadan sudah datang. Tetapi karena hilal tidak kelihatan, maka sesuai sunah Rasulullah SAW kita memulai puasa esok lusa, di hari Sabtu.’’. Wallahu a’lam bishshawab.(fb.Agus-Mustofa)
KETIKA BULAN BERPUTAR 12 KALI DALAM SETAHUN
TAFAKUR RAMADAN "KETIKA BULAN BERPUTAR 12 KALI DALAM SETAHUN"
Kalender-kalender besar seperti kalender Masehi, Cina dan Hijriyah semuanya sepakat, bahwa satu tahun berisi 12 bulan. Meskipun, dulunya kalender Masehi pernah hanya berisi 10 bulan, di zaman Romawi. Tetapi karena ‘kekacauan’ sistem penanggalannya, kalender ini pun lantas menggenapkan jumlah bulannya menjadi dua belas seperti sekarang.Kalender Masehi dikenal sebagai kalender yang berbasis pada gerakan semu matahari. Yang kemudian diketahui sebagai gerak planet bumi berkeliling matahari sebagai pusat tatasurya. Satu putaran Bumi mengelilingi matahari itu adalah 365,25 hari, yang kemudian disebut sebagai satu tahun. Namun dalam prakteknya, satu tahun hanya berisi 365 hari. Sisanya yang 0,25 hari dikumpulkan setiap empat tahun sekali menjadi tanggal 29 Februari. Dikenal sebagai tahun kabisat.
Jumlah bulan dalam kalender Masehi adalah 12 bulan. Masing-masingnya berisi 28-29 hari pada bulan Februari, dan 30-31 hari pada bulan-bulan lainnya. Awalnya, jumlah hari dalam sebulan kalender Masehi adalah 29,5 hari sesuai perputaran bulan mengelilingi bumi. Tetapi sejarah mencatat, sejumlah penguasa di zaman masing-masing menambahi jumlah harinya seiring dengan kepentingannya, sehingga menjadi tidak sesuai dengan durasi perputaran Bulan terhadap Bumi. Karena itulah, kalender Masehi disebut sebagai kalender Matahari alias solar.
Ini berbeda dengan Kalender Cina yang sebulannya masih menggunakan 29,5 hari, meskipun setahunnya tetap berpatokan pada angka 365,25 hari. Karena sebulannya lebih pendek dari kalender Masehi, maka setiap tahunnya ada selisih sebelas hari antara Kalender Cina dan kalender Masehi. Yang kemudian dirupakan sebagai ‘bulan ke-13’ sebanyak tujuh kali dalam kurun waktu 19 tahun. Sehingga, jumlah rata-rata hari dalam setahun tetap mengacu pada periode matahari. Karena itulah, kalender Cina dikenal sebagai kalender Bulan-Matahari alias Lunisolar.
Kalender Hijriyah tidak menggunakan matahari sebagai patokannya, melainkan sepenuhnya mengacu kepada perputaran Bulan. Karena itu disebut sebagai kalender Bulan alias Lunar. Jumlah hari dalam setahun yang 354 hari, maupun durasi bulanan yang 29,5 hari sepenuhnya disandarkan pada perputaran bulan itu. Sehingga tidak seperti kalender Cina yang berusaha menyesuaikan bilangan hari dalam setahun dengan menyisipkan ‘bulan ke-13’, kalender Hijriyah memilih membiarkan saja perbedaan sebelas hari itu. Sehingga penanggalan Hijriyah terus menerus maju sebelas hari setiap tahunnya. Itulah kenapa, kok awal Ramadan dan Lebaran selalu bertambah maju dari tahun ke tahun.
Yang menarik, semua kalender itu menetapkan setahun berisi 12 bulan, yang mana ini sangat bersesuaian dengan informasi di dalam al Qur’an. Bahwa sejak saat penciptaan langit dan Bumi, Allah telah mendesain keterkaitan antara bilangan tahun dengan bilangan bulan. ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi…’’ [QS : At Taubah: 36].
Dalam fakta astronominya, ternyata terjadi sinkronisasi antara gerak semu matahari dengan gerak Bulan. Yakni, satu kali perputaran matahari mengelilingi Bumi setara dengan 12 kali Bulan mengelilingi Bumi. Itulah sebabnya, kenapa semua kalender akhirnya menetapkan setahun berisi 12 bulan. Manusia telah memperoleh patokan yang bersifat universal tentang pergerakan waktu yang bisa digunakan untuk menandai berbagai peristiwa yang terjadi. Dan lagi-lagi Al Qur’an memberikan petunjuknya tentang hal ini. Bahwa, Bulan dan Matahari diciptakan Allah, salah satunya, memang untuk menjadi patokan pergerakan waktu alam semesta.
‘’Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari serta bulan sebagai (pedoman) penghitungan (waktu). Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.’’ [QS. Al An’aam: 9].
Namun demikian, harus dipahamkan bahwa pergerakan‘waktu’ bukanlah disebabkan oleh perputaran benda-benda langit itu. Katakanlah, seandainya saja Bulan dan Matahari kita itu lepas dari orbitnya dan lenyap dari pandangan makhluk Bumi, ‘waktu’ bukan berarti ikut lenyap. Ia tetap saja berjalan menggiring usia kita menjadi lebih tua. Substansi waktu bukan terletak pada Bulan dan Matahari. Keduanya hanya berfungsi sebagai penanda alias patokan belaka.
Sehingga kalau Anda berkelana di ruang angkasa nun jauh disana, dimana Anda sudah tidak bisa berpatokan pada pergerakan Matahari dan Bulan, Anda masih akan bisa menandai perubahan waktu dengan menggunakan jam digital Anda..! Wallahu a'lam bishshawab. (fb.Agus-Mustofa)
Sabtu, 28 Juli 2012
Kota Binjai
Binjai adalah salah satu kota (dahulu daerah tingkat II berstatus kotamadya) dalam wilayah provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Binjai terletak 22 km di sebelah barat ibukota provinsi Sumatera Utara, Medan. Sebelum berstatus kotamadya, Binjai adalah ibukota Kabupaten Langkat yang kemudian dipindahkan ke Stabat. Binjai berbatasan langsung dengan Kabupaten Langkat di sebelah barat dan utara sertaKabupaten Deli Serdang di sebelah timur dan selatan. Binjai merupakan salah satu daerah dalam proyek pembangunan Mebidang yang meliputi kawasan Medan, Binjai dan Deli Serdang. Saat ini, Binjai dan Medan dihubungkan oleh jalan raya Lintas Sumatera yang menghubungkan antara Medan dan Banda Aceh. Oleh karena ini, Binjai terletak di daerah strategis di mana merupakan pintu gerbang Kota Medan ditinjau dari provinsi Aceh.